Kisah
ini pernah terjadi di zaman Bani Israil dahulu kala. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menceritakannya kepada umatnya agar menjadi pelajaran
berharga dan teladan dalam kebaikan. Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim
rahimahumallah meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri, Sa’id bin Malik
bin Sinan radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ
نَفْسًا فَسَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ
فَأَتَاهُ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَهَلْ
لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: لاَ. فَقَتَلَهُ فَكَمَّلَ بِهِ مِائَةً
ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ
فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ مِائَةَ نَفْسٍ فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟
فَقَالَ: نَعَمْ، وَمَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ، انْطَلِقْ
إِلَى أَرْضِ كَذَا وَكَذَا فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا يَعْبُدُونَ اللهَ
فَاعْبُدِ اللهَ مَعَهُمْ وَلاَ تَرْجِعْ إِلَى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أَرْضُ
سَوْءٍ. فَانْطَلَقَ حَتَّى إِذَا نَصَفَ الطَّرِيقَ أَتَاهُ الْمَوْتُ
فَاخْتَصَمَتْ فِيهِ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ وَمَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ
فَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ: جَاءَ تَائِبًا مُقْبِلاً بِقَلْبِهِ
إِلَى اللهِ. وَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ: إِنَّهُ لَمْ يَعْمَلْ
خَيْرًا قَطُّ. فَأَتَاهُمْ مَلَكٌ فِي صُورَةِ آدَمِيٍّ فَجَعَلُوهُ
بَيْنَهُمْ فَقَالَ: قِيسُوا مَا بَيْنَ الْأَرْضَيْنِ فَإِلَى
أَيَّتِهِمَا كَانَ أَدْنَى فَهُوَ لَهُ. فَقَاسُوهُ فَوَجَدُوهُ أَدْنَى
إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي أَرَادَ فَقَبَضَتْهُ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ.
قَالَ قَتَادَةُ: فَقَالَ الْحَسَنُ: ذُكِرَ لَنَا أَنَّهُ لَمَّا أَتَاهُ
الْمَوْتُ نَأَى بِصَدْرِهِ
Dahulu, di zaman orang-orang sebelum kalian, ada seorang laki-laki yang
telah membunuh 99 jiwa. Dia pun bertanya tentang orang yang paling alim
di muka bumi ketika itu, lalu ditunjukkan kepadanya tentang seorang
rahib (pendeta, ahli ibadah). Maka dia pun mendatangi rahib tersebut
lalu mengatakan bahwa sesungguhnya dia telah membunuh 99 jiwa, apakah
ada taubat baginya?
Ahli ibadah itu berkata: “Tidak.” Seketika laki-laki itu membunuhnya.
Maka dia pun menggenapi dengan itu (membunuh rahib) menjadi 100 jiwa.
Kemudian dia menanyakan apakah ada orang yang paling alim di muka bumi
ketika itu? Lalu ditunjukkanlah kepadanya tentang seorang yang berilmu.
Maka dia pun mengatakan bahwa sesungguhnya dia telah membunuh 100 jiwa,
apakah ada taubat baginya? Orang alim itu berkata: “Ya. Siapa yang
menghalangi dia dari taubatnya? Pergilah ke daerah ini dan ini. Karena
sesungguhnya di sana ada orang-orang yang senantiasa beribadah kepada
Allah, maka beribadahlah kamu kepada Allah bersama mereka. Dan jangan
kamu kembali ke negerimu, karena negerimu itu adalah negeri yang
buruk/jahat.”
Maka dia pun berangkat. Akhirnya, ketika tiba di tengah perjalanan
datanglah kematian menjemputnya, (lalu dia pun mati). Maka berselisihlah
malaikat rahmat dan malaikat azab tentang dia.
Malaikat rahmat mengatakan: “Dia sudah datang dalam keadaan bertaubat, menghadap kepada Allah dengan sepenuh hatinya.”
Sementara malaikat azab berkata: “Sesungguhnya dia belum pernah mengerjakan satu amalan kebaikan sama sekali.”
Datanglah seorang malaikat dalam wujud seorang manusia, lalu mereka
jadikan dia (sebagai hakim pemutus) di antara mereka berdua. Maka kata
malaikat itu: “Ukurlah jarak antara (dia dengan) kedua negeri tersebut.
Maka ke arah negeri mana yang lebih dekat, maka dialah yang berhak
membawanya.”
Lalu keduanya mengukurnya, dan ternyata mereka dapatkan bahwa orang itu
lebih dekat kepada negeri yang diinginkannya. Maka malaikat rahmat pun
segera membawanya.
Kata rawi: Kata Qatadah: Al-Hasan mengatakan: “Disebutkan kepada kami,
bahwa ketika kematian datang menjemputnya, dia busungkan dadanya (ke
arah negeri tujuan).”
Hadits ini menceritakan kepada kita tentang orang yang telah membunuh 99
jiwa lalu dia menyesal dan bertaubat serta bertanya tentang ahli ilmu
yang ada ketika itu. Kemudian ditunjukkan kepadanya seorang ahli ibadah.
Ternyata ahli ibadah itu hanyalah ahli ibadah, tidak mempunyai ilmu.
Rahib tersebut menganggap besar urusan itu sehingga mengatakan: “Tidak
ada taubat bagimu.” Laki-laki pembunuh itu marah lantas membunuh ahli
ibadah tersebut. Lengkaplah korbannya menjadi 100 jiwa.
Kemudian dia tanyakan lagi tentang ahli ilmu yang ada di masa itu. Maka
ditunjukkanlah kepadanya seorang yang alim. Lalu dia bertanya, apakah
ada taubat baginya yang telah membunuh 100 jiwa? Orang alim itu
menegaskan: “Ya. Siapa yang bisa menghalangimu untuk bertaubat? Pintu
taubat terbuka lebar. Tapi pergilah, tinggalkan negerimu menuju negeri
lain yang di sana ada orang-orang yang beribadah kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala, dan jangan pulang ke kampungmu, karena negerimu adalah negeri
yang buruk.”
Akhirnya, lelaki itu pun pergi berhijrah. Dia berangkat meninggalkan
kampung halamannya yang buruk dalam keadaan sudah bertaubat serta
menyesali perbuatan dan dosa-dosanya. Dia pergi dengan satu tekad
meninggalkan dosa yang dia lakukan, memperbaiki diri, mengisi hari esok
dengan amalan yang shalih sebagai ganti kezaliman dan kemaksiatan yang
selama ini digeluti.
Di tengah perjalanan menuju kampung yang baik, dengan membawa segudang
asa memperbaiki diri, Allah Subhanahu wa Ta’ala takdirkan dia harus
mati.
Takdir dan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala jua yang berlaku. Itulah
rahasia dari sekian rahasia Allah Yang Maha Bijaksana. Tidak mungkin
ditanya mengapa Dia berbuat begini atau begitu. Tetapi makhluk-Nya lah
yang akan ditanya, mengapa mereka berbuat begini dan begitu. Allah
Subhanahu wa Ta’ala Maha melakukan apa saja yang Dia inginkan.
Semua yang ada di alam semesta, baik yang terlihat maupun tidak terlihat
adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, ciptaan-Nya dan di bawah
pengawasan serta pengaturan-Nya. Dia Yang menentukan setiap perbuatan
seorang hamba, 50.000 tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi. Dia
yang memberikan perangkat kepada seorang hamba untuk melakukan sesuatu.
Dia pula yang memberi taufiq kepada hamba tersebut ke arah apa yang
telah ditakdirkan-Nya.
Pembunuh 100 jiwa itu, adalah salah satu dari makhluk ciptaan Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Dia ada di bawah kehendak dan kendali Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Ketentuan dan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala
sudah pasti berlaku pula atasnya. Perbuatan zalim yang dikerjakannya
adalah takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Taubat dan penyesalan yang dia
rasakan dan dia inginkan adalah takdir dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Alangkah beruntungnya dia. Tapi kalau begitu, zalimkah Allah Subhanahu
wa Ta’ala? Kejamkah Dia kepada hamba-Nya?
Jawabnya sudah pasti, tidak. Sama sekali tidak. Dari sisi manapun, Dia bukanlah Dzat yang zalim.
Apakah kezaliman itu? Kezaliman adalah berbuat sesuatu pada hal-hal yang
bukan miliknya. Atau meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya.
Siapakah Allah Subhanahu wa Ta’ala? Dan siapakah kita? Milik siapakah kita?
Kita milik Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia-lah Yang telah menciptakan dan
mengatur kita. Dia Maha Tahu yang tepat bagi hamba-Nya. Dia Maha
Bijaksana, Dia meletakkan segala sesuatu sesuai pada tempatnya. Dia Maha
Tahu apa yang diciptakan-Nya. Dia Maha Tahu apa yang terbaik bagi
ciptaan-Nya. Allahu Akbar.
Lelaki itu meninggal dunia. Dia mati dalam keadaan belum ‘beramal
shalih’ sekali pun. Dia hanya punya tekad memperbaiki diri, bertaubat
dari semua kesalahan. Hal itu terwujud dari keinginannya bertanya kepada
mereka yang dianggap berilmu: Apakah ada taubat baginya? Semua itu
tampak dari tekadnya pergi meninggalkan masa lalu yang kelam,
menyongsong cahaya hidayah dan kebaikan.
Alangkah besar karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada dirinya.
Alangkah besar rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para hamba-Nya.
Tetapi alangkah banyak manusia yang tidak mengetahui bahkan tidak
mensyukuri nikmat tersebut.
Sungguh, andaikata kezaliman-kezaliman yang dikerjakan oleh Bani Adam
ini harus diselesaikan dengan azab dan siksa di dunia, niscaya tidak
akan ada lagi satu pun makhluk yang melata di atas muka bumi ini.
Sungguh, seandainya kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lebih
dahulu daripada rahmat-Nya, niscaya tidak akan pernah ada rasul yang
diutus, tidak ada Kitab Suci yang diturunkan. Tidak ada ulama dan orang
shalih serta berilmu yang memberi nasihat, peringatan, dan bimbingan.
Bahkan tidak akan ada satu pun makhluk yang melata di muka bumi ini.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوا مَا تَرَكَ عَلَى
ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ وَلَكِنْ يُؤَخِّرُهُمْ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى
فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِعِبَادِهِ بَصِيرًا
“Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya
Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang
melata pun akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai
waktu yang tertentu; maka apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya
Allah adalah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.” (Fathir: 45)
Kerusakan yang terjadi di muka bumi ini, di daratan maupun di lautan
tidak lain adalah akibat ulah manusia. Sementara kesempatan hidup yang
diberikan kepada mereka membuat mereka lupa, bahkan semakin menambah
kedurhakaan mereka. Ingatlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَذَرْنِي وَمَنْ يُكَذِّبُ بِهَذَا الْحَدِيثِ سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ
حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ. وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ
“Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang
mendustakan perkataan ini (Al-Qur’an). Nanti Kami akan menarik mereka
dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka
ketahui, dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku
amat teguh.” (Al-Qalam: 44-45)
Maka jelas pulalah bagi kita alangkah jahatnya ucapan orang yang mengatakan: “Saya tidak suka tuhan yang kejam.”
Andaikata yang dia maksud adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka hanya
ada dua kemungkinan pada diri orang seperti ini, kafir (murtad) atau
kurang akalnya (idiot). Apabila sudah dia terima bukti dan keterangan
tapi masih menolak dan mengingkari, maka dikhawatirkan dia telah keluar
dari Islam.
Betapa luas nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya. Siang
malam Dia memerhatikan serta mencurahkan rahmat dan kasih sayang-Nya
kepada mereka. Tetapi mereka justru menampakkan kebencian kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dengan senantiasa mengerjakan maksiat sepanjang
siang dan malam.
Maka dari itu:
فَبِأَيِّ ءَالَاءِ رَبِّكَ تَتَمَارَى
“Maka terhadap nikmat Rabbmu yang manakah kamu ragu-ragu?” (An-Najm: 55)
Dan:
فَبِأَيِّ ءَالَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (Ar-Rahman: 75)
Di antara rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala juga adalah seperti yang
diriwayatkan Al-Imam Muslim rahimahullahu dari Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu:
لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ
أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ
وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ فَأَيِسَ مِنْهَا فَأَتَى شَجَرَةً
فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ فَبَيْنَا هُوَ
كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا قَائِمَةً عِنْدَهُ فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا ثُمَّ
قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ: اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا
رَبُّكَ. أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ
“Benar-benar Allah sangat gembira dengan taubat hamba-Nya ketika dia
bertaubat kepada-Nya daripada salah seorang kamu yang berada di atas
kendaraannya di sebuah tanah padang yang sunyi, lalu kendaraan itu lepas
(lari) meninggalkannya, padahal di atasnya ada makanan dan minumannya.
Akhirnya dia putus asa mendapatkannya kembali. Maka dia pun mendatangi
sebatang pohon lalu berbaring di bawah naungannya, dalam keadaan putus
asa dari kendaraannya. Ketika dia dalam keadaan demikian, ternyata
tiba-tiba kendaraan itu berdiri di dekatnya. Lalu dia pun menggenggam
tali kekangnya dan berkata saking gembiranya: ‘Ya Allah, Engkau hambaku
dan aku Rabbmu.’ Dia salah ucap karena saking gembiranya.”
Inilah Hakikat Hijrah
Hijrah adalah salah satu kewajiban ajaran Islam, salah satu amalan
shalih paling utama, bahkan merupakan sebab keselamatan agama seseorang
serta perlindungan bagi imannya. Hijrah terbagi menjadi beberapa bagian,
di antaranya ialah hijrah meninggalkan apa yang diharamkan Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas
setiap mukallaf. Maka, orang yang bertaubat dari kemaksiatan yang telah
lalu berarti dia telah berhijrah meninggalkan apa yang dilarang oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sedangkan seorang muslim, dibebankan kepadanya agar meninggalkan segala yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْمُهَاجِرَ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ
“Sesungguhnya, muhajir sejati adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (HR. Ahmad, no. 6912)
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sekaligus perintah,
meliputi semua perbuatan haram baik dalam bentuk ucapan maupun
perbuatan.
Apa yang disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini meliputi pula
hijrah lahir dan hijrah batin. Hijrah lahir adalah lari membawa
tubuhnya menyelamatkan diri dari fitnah. Sedangkan hijrah batin adalah
meninggalkan apa saja yang menjadi ajakan hawa nafsu yang senantiasa
memerintahkan kepada kejelekan dan apa-apa yang dijadikan indah oleh
setan. Hijrah kedua ini merupakan dasar bagi hijrah yang pertama.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ
يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللهِ وَكَانَ اللهُ
غَفُورًا رَحِيمًا
“Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah
dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat
yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan
adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa’: 100)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu dalam tafsirnya tentang ayat ini mengatakan:
Kemudian firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ
“Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah
dan Rasul-Nya”, maksudnya yang sengaja menuju Rabbnya, mengharap
ridha-Nya, karena cinta kepada Rasul-Nya, dan demi membela agama Allah
Subhanahu wa Ta’ala, serta bukan karena tujuan lain,
ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ
“Kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju)”, karena terbunuh atau sebab lainnya,
فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللهِ
“Maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah.” Yakni, pahala
muhajir yang mencapai tujuannya dengan jaminan dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah dia terima. Hal itu karena dia telah berniat dan bertekad;
dia telah memulai kemudian segera mulai mengerjakannya. Maka termasuk
rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala atasnya dan orang-orang seperti dia
adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala memberinya pahala sempurna. Meskipun
mereka belum mengerjakan amalan mereka secara tuntas, serta mengampuni
mereka dengan kekurangan yang ada pada hijrah atau amalan tersebut.
Sebab itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala akhiri ayat ini dengan dua nama-Nya yang mulia dalam firman-Nya:
وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Dan adalah Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” Dia memberi
ampunan bagi kaum mukminin yang mengerjakan dosa terutama mereka yang
bertaubat kepada Rabb mereka. Dia Maha penyayang kepada seluruh
makhluk-Nya. Penyayang kepada kaum mukminin dengan memberi mereka taufiq
agar beriman, mengajari mereka ilmu yang menambah keyakinan mereka,
memudahkan mereka sebab-sebab menuju kebahagiaan dan kemenangan.
Beberapa Faedah
1. Seorang pembunuh, bisa diterima taubatnya. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ اللهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya.” (An-Nisa’: 48)
Inilah pendapat jumhur ulama. Adapun pendapat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma bahwa tidak ada taubat bagi seorang pembunuh karena Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا
فِيهَا وَغَضِبَ اللهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا
عَظِيمًا
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka
balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka
kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.”
(An-Nisa’: 93)
Mungkin bisa dibawa kepada pengertian bahwa tidak ada taubat sehubungan
dengan korban yang terbunuh. Karena si pembunuh terkait dengan tiga hak
sekaligus: hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, hak korban yang dibunuhnya,
dan hak ahli waris korban (walinya).
Adapun hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak disangsikan lagi bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala akan mengampuninya dengan adanya taubat dari pelaku
maksiat tersebut, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا
مِنْ رَحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ
هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah: ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri
mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah
Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.” (Az-Zumar: 53)
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللهِ إِلَهًا ءَاخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ
النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ
يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا. يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا. إِلَّا مَنْ تَابَ وَءَامَنَ
وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللهُ سَيِّئَاتِهِمْ
حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا. وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ
صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا
“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah,
tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan
(alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa melakukan demikian
itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan
dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam
azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat,
beriman, dan mengerjakan amal shalih. Maka kejahatan mereka diganti
Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka
sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang
sebenar-benarnya.” (Al-Furqan: 68-71)
Adapun hak korban yang dibunuhnya, maka taubat si pembunuh tidaklah
berguna dan jelas belum tertunaikan hak korbannya, karena korban itu
sudah mati. Tidak mungkin pula sampai pada tingkat dia minta penghalalan
atau lepas dari tuntutan darahnya. Jadi, inilah yang masih tersisa
serta menjadi beban tuntutan di pundak si pembunuh, meskipun dia sudah
bertaubat. Sedangkan pada hari kiamat, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala
akan memutuskan perkara di antara mereka.
Sedangkan hak ahli waris (wali) korban, maka taubat si pembunuh juga
tidak sah hingga dia menyerahkan dirinya kepada mereka, mengakui
perbuatannya, dan menyerahkan kepada mereka, apakah dia harus dihukum
mati (qishash), membayar diyat (tebusan), atau mereka memaafkannya.
2. Dalam hadits kisah ini, disyariatkan untuk bertaubat dari semua dosa
besar. Mungkin, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima taubat seorang
pembunuh, Dia menjamin keridhaan lawan (korban)nya, dan Dia kembalikan
kezalimannya. Inilah salah satu rahmat dan keadilan Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
3. Kisah ini melarang kita membuat orang lain putus asa dari dosa besar
yang dikerjakannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri telah menerangkan
bahwa Dia tidak akan menjadikan kekal di neraka orang yang mati dalam
keadaan bertauhid, sebagaimana dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu yang
diriwayatkan At-Tirmidzi rahimahullahu:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّه ِn يَقُولُ: قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى:
يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ
عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ
ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا
أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ
خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ
بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah
Tabaraka wa Ta’ala berfirman: ‘Wahai Bani Adam, sesungguhnya selama
engkau berdoa kepada-Ku, mengharapkan-Ku, niscaya Aku beri ampun
kepadamu atas apa yang ada padamu, dan Aku tidak peduli. Wahai Bani
Adam, seandainya dosa-dosamu mencapai langit kemudian kamu minta ampun
kepada-Ku niscaya Aku beri ampunan kepadamu, dan Aku tidak peduli. Wahai
Bani Adam, sungguh, seandainya engkau datang kepada-Ku membawa dosa
sepenuh bumi kemudian engkau bertemu dengan-Ku dalam keadaan tidak
menyekutukan Aku dengan apapun, pasti Aku datang kepadamu dengan membawa
ampunan sepenuh itu juga.”
Namun, bisa jadi pula dia diampuni dan tidak masuk neraka sama sekali,
atau diazab sebagaimana pelaku maksiat lainnya dari kalangan orang yang
bertauhid lalu dikeluarkan menuju ke dalam jannah. Maka janganlah
berputus asa dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan jangan pula
membuat orang lain berputus asa darinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman tentang Khalil-Nya, Ibrahim q:
قَالَ وَمَنْ يَقْنَطُ مِنْ رَحْمَةِ رَبِّهِ إِلَّا الضَّالُّونَ
“Ibrahim berkata: ‘Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabbnya, kecuali orang-orang yang sesat’.” (Al-Hijr: 56)
4. Di dalam kisah ini terdapat pula keutamaan berpindah dari negeri yang
di sana seseorang bermaksiat, apakah karena adanya teman dan fasilitas
yang mendukung atau hal-hal lainnya.
5. Dari kisah ini pula jelaslah betapa seseorang tidak mungkin selamat
dan lolos dari azab kecuali dengan beratnya timbangan kebaikan dirinya
meski hanya sebesar biji sawi. Maka dari itu, sudah semestinyalah orang
yang bertaubat memperbanyak amal kebaikannya.
6. Termasuk tugas seorang yang bertaubat –kalau dia bukan orang yang
berilmu– hendaknya dia pelajari apa saja yang wajib atas dirinya di masa
yang akan datang dan apa yang haram dikerjakannya.
7. Perlu pula diingat dalam kisah ini, bahwasanya lingkungan yang baik,
bergaul dengan orang shalih akan menambah iman seseorang. Sedangkan
segala kerusakan, petaka dan penyimpangan, tumbuhnya tidak lain karena
adanya dukungan para setan dan bala tentaranya, termasuk dari kalangan
manusia yang senantiasa membuka pintu kelalaian dan syahwat serta tidak
mendukungnya kepada kebaikan dan ketaatan.
Sungguh indah peringatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu:
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسُّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ
الْكِيْرِ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ
تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ
الْكِيْرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا
خَبِيثَةً
“Perumpamaan teman duduk yang baik dan teman duduk yang buruk adalah
seperti pembawa misik dan pandai besi. Adapun si pembawa misik (minyak
wangi), mungkin dia akan memberimu, atau kamu membeli darinya, atau kamu
dapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, mungkin dia akan
membakar pakaianmu, atau kamu dapatkan bau tidak sedap darinya.”
8. Satu hal yang harus kita ingat dari kisah ini, tekad dan niat ikhlas
si pembunuh, itulah yang mengantarnya kepada rahmat Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang teramat luas. Meski belum mengisi lembaran hidup barunya
dengan kebaikan, tetapi tekad dan niat ikhlas ini sangat bernilai di
sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah salah satu buah dan keutamaan
tauhid yang murni.
Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala membimbing kita membersihkan
hati kita dari kekotoran syirik dan maksiat sampai kita bertemu
dengan-Nya dalam keadaan membawa hati yang selamat. Amin. Quran dan Sunnah/Fohto (www.bagnet.org)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar