Seperti
biasanya malam itu (sekitar pkl 21.30 wib) saya dan dua orang tetangga
kompleksku ngobrol di gardu siskamling samping rumahku. Sedang asyik kami
ngobrol-ngobrol, dari soal politik, olah raga sampe masalah warga kompleks
dibahas dengan lugas layaknya talk show di TV-TV yang sedang marak, lewatlah
seorang tukang pisang dengan ditemani seorang bocah seumuran anak SD,
menjajakan dagangannya.
“Pisang…
pisang..,” begitu teriaknya. Terhenti sejenak obrolan kami mengamati si tukang
pisang tersebut, muncul beberapa pertanyaan diantara kami, “Mengapa sudah malam
begini masih ada saja tukang pisang keliling?” celetuk salah satu tetangga
sebut saja Dedi. “Kenapa bawa anak kecil segala?” tandas Eri tetangga ku dengan
kritisnya. “Ada apa keranjang pisangnya dipegangi anaknya itu?” tanyaku dengan
penuh selidik.
Akhirnya
kami mencoba menegurnya, “Wah, malam-malam masih ada pisang ya mang?” tanyaku.
“Iya
pak, ada pisang raja dan ambon, masih seger dan masak dipohon pak” sahut si
tukang pisang. “Ini anak mamang?” tanya Dedi. “Iya pak, anak saya yang ke dua,”
sahutnya.
“Kok
malam-malam ikut jualan apa tidak belajar?” tanya Eri penasaran. “Sudah belajar
pak tadi sore sebelum nganter bapak jualan” jawab anak itu. “Kok Bapak
malam-malam masih jualan bawa anak lagi, apa gak kasihan anak Bapak kan besok
pagi-pagi harus ke sekolah” tanya ku.
“Bapak
saya buta, jadi terpaksa harus diantar kalau mau jualan keliling pak” sahut
anak itu menjelaskan. Kami begitu kaget mendengar penjelasan seorang bocah
ingusan yang begitu berbakti kepada orang tuanya yang sedang berusaha itu.
Bagaimana
tidak, seorang penjual pisang sampai malam begitu dia keliling kompleks
ditemani anaknya yang sesuai SD itu. “Bapak kalau pagi mangkal di dekat pasar,
selepas Ashar beliau keliling komplek pak, untuk menjual sisa dagangannya,”
timpal anak itu. Itu semua dilakukan demi menghidupi dua anak dan sang istri.
Dengan rasa simpati kami saling bisik-bisik untuk membelinya.
Karena
begitu terharu saya dan dua orang tetanggaku membeli pisang dengan melebihkan
pembayaran dari harga yang ditawarkanya. Tapi apa yang kami lakukan rupanya
mendapat tanggapan berbeda dari si tukang pisang “Ini pak, kembaliannya seribu
rupiah,” tukas si tukang pisang. “Sudah buat bapak dan anak bapak saja,” jawab
kami serempak tanpa sadar.
“Maaf
pak saya jualan bukan pengemis,” sahutnya. Dia mengembalikan semua kelebihan
uang kami yang sebenarnya sengaja kami berikan. Kemudian si tukang pisang
permisi dan pergi bersama anaknya menjajakan dagangannya sembari menuju pulang
ke kampungnya.
Terbetik
dalam sanubari kami masing-masing, masih ada orang jujur dan mulia di dunia
ini. Uang lebih seribu rupiah pun tidak dia terima (karena bukan haknya) demi
harga diri dan prinsip yang begitu luhur.
“Saya
jualan bukan pengemis pak,” dinyatakan oleh seorang tukang pisang yang buta.
Ada dua pelajaran berharga yang kita bisa petik dari kisah tersebut:
Pertama
seandainya mental itu (tidak rakus pada harta yang bukan haknya) ada di
sanubari semua penjabat kita tentu triliunan rupiah uang negara (rakyat) yang
bisa diselamatkan di negeri ini untuk mensejahtera kan umat, tidak terkecuali
kita juga tentunya.
Kedua
betapa optimisnya si tukang pisang, dengan kondisi yang buta dia keliling
kompleks sampai larut malam mencari rejeki, sementara kita orang yang lebih
beruntung (mata normal) mungkin sudah santai nonton TV atau beranjak tidur.
Semoga
kita bisa lebih mensyukuri nikmat dan anugerah Tuhan kepada kita semua.